Pendidikan Karakter Indonesia



Pendidikan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan bagi peserta didiknya sehingga ia siap menghadapi kehidupan yang nyata dalam dunia kerja, selain itu juga untuk mempersiapkan peserta didik supaya dapat menentukan masa depan dan mampu  mempertahankan posisinya dalam struktur kehidupan. Itulah makna tersirat dalam UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pelaksanaanya, fungsi dan tujuan pendidikan nasional di setiap lebaga pendidikan haruslah selaras supaya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dapat terus berkembang. Pada pasal 3 UU Sikdiknas menyebutkan menyebutkan “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi, peserta didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tetapi, akhir-akhir ini kualitas pendidikan mulai dipertanyakan dari banyaknya kasus korupsi, kolusi, pencurian dan berbagai penyalahgunaan jabatan yang bermunculan. Makin tahun bangsa Indonesia makin bertambah cerdas, tak heran jika para pemimpin berhati licik kini tak bisa semudah dahulu beraksi dan membohongi masyarakat. Di berbagai daerah kini mulai bermunculan para pemuda yang dengan tegas dan tak takut mati menyuarakan hak-hak nya sebagai rakyat dan mengkritik para kaum elite. Ya, bangsa kita sudah mulai sadar akan ketidak tahuan mereka selama ini yang memudahkan diri mereka sendiri dengan terima dibodohi, baik oleh bangsa asing maupun pemimpinnya sendiri. Dan sedikit demi sedikit, sistem demokrasi di Indonesia mulai kembali terbangun.
Pendidikan di Indonesia banyak menuai kritikan dari masyarakat. Seperti yang dikutip dalam sebuah buku karangan Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI tersebut mengatakan, “Kaum muda cenderung pandai, namun outputnya adalah manusia-manusi penumpang yang sering saya temui di dalam angkot atau bus kota. Fokusnya adalahh buku teks, yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian. Jadi pintar itu adalah pintar kertas, dan sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana kertas.”  Ungkapan tersebut adalah sebuah fakta yang seringkali dielak karena malu untuk mengakuinya. Tapi itulah sebuah realita. Sistem pendidikan wajib belajar dua belas tahun dengan penyusunan kurikulum sebegitu kompleksnya ternyata tak sepenuhnya dapat memenuhi harapan dari pendidikan nasional. Seperti halnya teori stabilitas IQ, EQ dan SQ, Pendidikan di Indonesia hanyalah memenuhi kebutuhan IQ dan memiliki kekurangan di kedua sisi lainnya. Kini, hakekat pendidikan yang tertanam pada para pelajar telah mengalami masa kritis. Mereka tak lagi bersekolah untuk belajar dan menambah pengetahuan seperti yang kita ekspetasikan. Tapi kondisi telah memaksakan mereka untuk bersekolah  demi nilai.  Untuk dapat lulus memerlukan nilai yang memenuhi standar KKM, untuk mendapatkan sekolah yang bagus dan masuk kelas unggulan harus mendapat nilai yang unggul, untuk setiap pelajaran yang diberikan para pelajar dipaksa untuk menuntaskan ujian dan mendapatkan nilai dari guru. Semua keberhasilan ditentukan oleh nilai. Maka bukanya tak mungkin jika pelajar kini tak berorientasi pada pengetahuan tapi justru pada nilai. Karena mereka selama ini dijarkan untuk terus mendapatkan nilai, bahwa nilai adalah penentu kesuksesan hidup, dan tinggi rendahnya nilai-lah yang menentukan masa depan seseorang. Tapi pada nyatanya, dunia kerja tak sebatas memerlukan pengetahuan saja, tapi juga sikap dan karakter seseorang menjadi pperimbangan penting dalam kualitas seorang pekerja.
Selain masalah terlalu dominannya ilmu pengetahuan dalam bentuk teori yang disajikan dalam sistem pembelajaran, begitu kompleksnya mata pelajaran juga menjadi permasalahan. Indonesia memiliki 16 mata pelajaran utama yang diberikan pada peserta didik. Meskipun dia kelak hanya akan fokus ke satu bidang sesuai masa depan yang ditargetkannya, dia tetap harus mempelajari seluruh mata pelajaran pokok tersebut. Dan apa hasil yang diperoleh? Banyak dari para pelajar hanya belajar asal tahu sesaat saja, supaya dia bisa lulus. Dan kemanakah pengetahuan-pengetahuan yang sedemikian banyaknya? Setelah ujian berakhir, semua teori itu hilang karena hanya disimpan dalam memori sesaat saja. Memberikan semua pengetahuan tersebut menjadi sia-sia dan hanya memberikan sedikit manfaat. Meski negara kita memiliki banyak subsidi yang diberikan kepada pendidikan, tapi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kurang tercapai karena kurang tepatnya metode yang dilakukan kurang tepat. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah.
Sebuah sistem pendidikan yang buruk akan membentuk masyarakat yang berkualitas buruk pula. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakan Indonesia telah siap mengahadapi MEA dengan sumber daya manusia yang ada?
Dalam tujuh misi pokok yang diunggulkan dalam program kerja Presiden Joko Widodo, salah satunya adalah revolusi mental. Dalam bangsa kita, sikap menunggu perintah dan mengerjakan apa yang didiktekan oleh atasan harus dihapuskan. Mental inlander yang harusnya telah punah semenjak kemerdekaan tahun 1945 harus segera dibersihkan dari jati diri bangsa Indonesia. Selain itu, menyinggung tentang jati diri bangsa, rasa nasionalisme  sedang tertidur pulas dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia harus segera dibangunkan. Karena Indonesia tak boleh mengulang keterpurukan yang sama seperti zaman penjajahan dahulu, seperti perkataan seorang filsuf  Prancis George Santayana,“Those who fail to learn the lesson of history, are doomed to repeat them” Dan tak dapat dipungkiri lagi, sepertinya sejarah benar-benar sedang mengulang. Beberapa tahun kedepan, kita akan menyaksikan kembali peristiwa sumpah pemuda seperti di tahun 1928. Tinggal menunggu waktu, seberapa cepatkah kita sadar akan keterpecah-belahan tak kasat mata ini.
Pada pidato yang disampaikan Perdana Menteri Malaysia tanggal 3 oktober 2006, Dr Mahathir Mohammad mengutip kata-kata presiden I R Soekarno yang sangat memotivasi beliau dan menjadikannya dorongan kuat untuk melakukan revolusi pada negaranya. “Neokolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakannya tatkala kita hidup berada dibawah kontrol agen-agen yang dikendalikan oleh mantan penjajah kita”. Dan apa yang dapat kita lihat sekarang? PM Malaysia tersebut berhasil membawa revolusi besar bagi bangsanya. Bahkan melampaui Indonesia. Dan mirisnya, dengan motivasi yang beraasal dari presiden Indonesia, bangsa lain mampu bertransformasi. Bagaimana dengan kita sendiri?
 Dalam buku yang ditulis Presiden Soekarno menjelaskan bahwa sebuah revolusi bukanlah sekedar satu kejadian belaka. Seperti contohnya peristiwa upacara kemerdekaan. Tetapi sebuah revolusi adalah satu proses yang lama dan bertingkat-tingkat. Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di tahun 1945, Sumpah pemuda, peperangan mengusir penjajahan adalah suatu bagian dari proses. Dan ketika Presiden Soekarno meninggalkan kita semua, kita dititipkan amanat besar, yakni melanjutkan revolusi Indonesia. Dan yang mampu membawa perubahan dan melanjutkan perjuangan revolusi ini, ada di tangan pemuda bangsanya. Dan tugas dari pendidikanlah untuk menyiapkan generasi pemuda yang cerdas dan memiliki rasa Nasionalisme serta berpendirian kuat yang mampu melawan tantangan kemajuan globalisasi dan berbagai serangan dari bangsa lain.
Tugas seorang pemimpin adalah melayani, dan tugas seorang pimpinan negara adalah melayani rakyatnya. Untuk membangun negara yang maju, terlebih dahulu kita harus mensejahterahkan masyarakatnya.  Dan untuk membawa kesejahterahan dalam masyarakat, banyak hal yang harus ditingkatkan, termasuk didalamnya pendidikan yang termasuk dalam pilar utama berdirinya suatu negara.
Dalam pendidikan, Indonesia memiliki banyak PR dan tugas penting yang harus dilakukan. Dan dari latar beakang yang dijelaskan diatas, saya merumuskan sebuah misi yang kurang lebih berbunyi seperti ini ‘menciptakan generasi muda yang bermoral, berpengetahuan luas, berpikiran maju dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.’
Mengapa saya mengangkat misi ini? Pertama, generasi muda adalah calon penerus bangsa. Diusia yang produktif dan memiliki jiwa muda yang penuh dengan semangat perubahan, mereka memiliki kemampuan untuk meneruskan mandat dari  Presiden Sooekarno, untuk meneruskan revolusi Indonesia. Selain itu, di kondisi sekarang ini masih banyak pemuda yang belum menyadari akan pentingnya diri mereka sendiri. Generasi muda sekarang cenderung apatis dan tak peduli pada urusan negaranya sendiri. Ini adalah dampak dari tidak siapnya kita menghadapi arus globalisasi. Ketidakpercayaan kita pada mereka membuat diri mereka sendiri berpikir bahwa mereka masih kecil dan belum saatnya peduli. Itulah kenapa pendidikan Nasionalisme bagi para pemuda sangatlah penting. Dan jika saya diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang DPR, saya akan mengusulkan pendidikan nasionalisme dengan sistematika yang lebih efesien dan baru. Bukan lagi melalui pendidikan PKn semata yang sangat membosankan. Teori tanpa praktek hanya akan menjadi angin lewat. Maka, saya berfikir untuk menciptakan satu jenjang sebelum seorang pelajar memasuki perguruan tinggi, yakni pendidikan lapangan dan penanaman rasa cinta tanah air. Sebuah program hasil modifikasi kegiatan wajib militer yang dilakukan di Korea Selatan, pendidikan selama satu tahun yang akan menyadarkan para pemuda akan posisi pentingnya dalam pembawa perubahan, dan menyeimbangkan ilmu pengetahuan mereka dengan landasan pendirian yang kokoh. Melatih sikap pantang menyerah, rela berkorban dan gigih berjuang. Sebuah training seperti kegiatan terjun sosial, mengamati dan menjadi peka berita mengenai negaranya, dan menumbuhkan rasa cinta tanah air pada diri setiap pemuda. Begitulah gambaran umumnya.
Selain itu, mendukung sistem sistem pendidikan karakter di Indonesia, perlu adanya revisi dibeberapa bidang. Seperti pengukuran standar penilaian karakter. Kebanyakan pemraktekannya masih terpaku pada nilai dan guru tidak siap untuk menjadi fasilitator karena sudah terbiasa dengan sistem teacher center yang lebih mudah dilakukan. Pembangunan mental driver yang memiliki semangat untuk bekerja lebih dan mengambil segala resiko harus dimulai dari tenaga pendidiknya. Dan peralihan dari sebuah sistem pendidikan tentunya tidaklah instan. Apalagi bagi sebuah negara besar yang masih bermasalah oleh pendidikannya yang belum merata . Selain itu, pemfokusan jurusan juga harus lebih efesien dan tak memiliki terlalu banyak fokus.

ulrich

No comments:

Post a Comment

Instagram